Harta Karun Bersejarah di Istana Uskup Trondheim

Hari ketiga saya di perkemahan diawali dengan terbangunnya saya karena tenda yang saya tempati bergoyang ke sana kemari. Udara juga terasa semakin dingin. Ketika saya membuka mata, saya tersadar bahwa angin bertiup sangat kencang di pagi itu. Saya yakin kalau patok yang kami pasang untuk mendirikan tenda itu tidak terpasang kuat, tenda itu pasti sudah terbang tertiup angin.

Saya merangkak keluar dari ruang tidur saya dan mendapati hanya ayah Chris yang sudah bangun dan mulai membereskan barang. Kegiatan pagi itu adalah mengepak kembali barang-barang kami karena sudah saatnya kami melanjutkan perjalanan ke arah utara. Setelah kegagalan mendapatkan tangkapan yang memuaskan ketika memancing, kami harus mencari tempat lain yang mungkin memiliki lebih banyak ikan. Saya sendiri sudah punya rencana tentang tempat-tempat lain yang harus saya kunjungi.

Singkat cerita, orang tua Chris menawarkan untuk menyelesaikan proses pengepakan barang dan membongkar tenda, sedangkan kami berdua akan diantar kembali ke Trondheim untuk menghabiskan dua museum yang tersisa dengan tiket terusan yang kami punya. Kali ini saya tidak lagi merasa seperti anak kurang ajar karena sudah dijelaskan dalam obrolan antarbudaya di malam sebelumnya. Akhirnya, setelah selesai mengepak tas dan koper sendiri, saya dan Chris kembali diantar oleh ayahnya ke Trondheim.

Kami tidak punya waktu banyak untuk berpetualang di hari itu, karena kami akan dijemput lagi sekitar tengah hari untuk melanjutkan perjalanan. Kami turun di seberang Munkegata karena alun-alun ditutup untuk kendaraan bermotor. Ketika melintasi alun-alun tersebutlah saya memperoleh kesempatan untuk melihat lebih dekat proyek galian yang tersebar di pinggir jalan. Dari jauh, tempat tersebut tampak seperti perbaikan jalan, namun setelah didekati, terdapat hal yang berbeda pada pagar pembatasnya. Bukan hanya tulisan “dilarang melintas” yang terpasang di pagar pembatasnya, melainkan juga kertas-kertas berlaminating yang berisi foto-foto benda-benda yang tampak seperti penemuan arkeologis seperti sepatu tua dan potongan kain tua. Tulisan keterangan dalam kertas-kertas itu berbahasa Norwegia dan saya tidak mengerti seluruhnya, namun saya berhasil menangkap informasi bahwa proyek galian tersebut adalah proyek penggalian situs arkeologi. Tampaknya telah ditemukan banyak peninggalan-peninggalan dari masa lampau di bawah pusat kota Trondheim. Wow, pembaca, saya menjadi sangat penasaran dan bersemangat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai penemuan-penemuan tersebut.

Karena waktu yang terbatas, saya tidak dapat berlama-lama membaca satu persatu kertas informasi tersebut. Saya dan Chris kembali menyusuri Munkegata untuk memasuki kompleks Nidarosdomen. Tujuan kami adalah kompleks bekas istana uskup yang memiliki beberapa museum di dalamnya. Kami memilih museum pertama yang berada di sebelah kanan gerbang kompleks yang tampak berbenteng tersebut. Meski interior bangunan bagian dalam kompleks tersebut tampak tua, museum yang kami datangi ini memiliki pintu kaca dan interiornya jauh lebih modern dibandingkan tampak luarnya.

photo0jpg

Pintu masuk Riksregaliene yang bergaya abad pertengahan. Sumber: http://www.tripadvisor.com

Museum yang kami kunjungi pertama tersebut adalah Riksregaliene atau Crown Regalia. Museum ini memajang koleksi benda-benda kerajaan khususnya mahkota, perhiasan dan tongkat yang digunakan untuk upacara-upacara kenegaraan. Salah satu upacara tersebut tentu saja upacara pelantikan raja yang biasa dilakukan di Nidarosdomen. Di lantai satu terdapat sejarah singkat mengenai Kerajaan Norwegia. Meskipun saat ini pemerintahannya dikepalai oleh seorang perdana menteri, negara ini adalah satu dari sedikit negara Eropa yang bertahan dalam bentuk monarki.

Pada masa Viking Age, Norwegia terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil. Salah satu raja kerajaan tersebut, Harald HÃ¥rfagre, memimpin pemberontakan yang berujung pada penyatuan kerajaan-kerajaan kecil tersebut. Sayangnya, persatuan ini tak berlangsung lama karena kemudian kerajaan tersebut jatuh ke tangan Kerajaan Denmark. Setelah kristenisasi oleh Olav Tryggvasson yang dilanjutkan oleh Olav Haraldson (St.Olav), Norwegia sempat lepas sesaat dari jajahan Denmark. Selanjutnya selama bertahun-tahun, negara ini berpindah-pindah dari tangan Kerajaan Swedia dan Denmark sebagai bagian dari sebuah persatuan dua negara (union). Tanggal 17 Mei 1814 menjadi hari di mana Kerajaan Norwegia akhirnya berdiri sebagai kerajaan merdeka yang tidak lagi menjadi anggota perserikatan dengan Swedia maupun Denmark. Saat ini, Kerajaan Norwegia dipimpin oleh Raja Harald V dan Ratu Sonja.

Dari lantai satu, saya beranjak menuruni tangga. Suasana di museum tersebut cenderung gelap karena minimnya lampu penerangan besar. Menuruni tangga tersebut membawa saya pada ruangan-ruangan yang lebih gelap lagi. Yang saya ingat, seluruh dindingnya berwarna hitam dan lampu-lampu hanya ditempatkan di dekat koleksi museum. Tangga tersebut mengantar saya pada sebuah lorong yang dindingnya dipenuhi deretan foto dan lukisan. Foto-foto dan lukisan tersebut dipasang berurutan dari yang paling tua hingga yang paling baru. Semuanya menampilkan upacara pemahkotaan raja-raja yang pernah memimpin di Norwegia, termasuk Raja Harald V yang dimahkotai tahun 1991.

13920789_10157956431480377_4246437749748692284_n

Foto/lukisan upacara penobatan Raja Harald V dan Ratu Sonja di Nidarosdomen tahun 1991.

Memasuki ruangan selanjutnya, saya berpapasan dengan seorang bapak-bapak tanpa ekspresi yang berpakaian resmi seperti pengawal kerajaan modern. Mulanya, saya pikir beliau hanyalah petugas museum yang menyediakan jasa pemandu. Karena saya hanya ingin melihat-lihat, saya tidak begitu fokus dengan keberadaannya. Apa yang ada dalam ruangan selanjutnya jauh lebih layak menjadi fokus saya. Deretan kotak-kotak kaca dengan lampu di sekitarnya menampakkan koleksi perhiasan milik keluarga kerajaan sejak zaman raja-raja terdahulu di ruangan gelap tersebut. Rupanya inilah sebabnya mengapa ruangan-ruangan di museum tersebut sengaja dibuat gelap – agar kita dapat mengamati koleksi perhiasan tersebut lebih detil.

Tidak hanya koleksi perhiasan, beberapa kotak kaca di ruangan tersebut juga memajang pedang-pedang yang menjadi aksesoris pakaian resmi kerajaan. Pedang-pedang tersebut memiliki sarung berlapis emas dan berhias ukiran ornamen aneka bentuk. Akan tetapi, bagian terbaik dari koleksi tersebut tentu saja berbagai aksesoris yang dikenakan oleh Raja Harald V dan Ratu Sonja pada hari penobatan mereka. Satu set aksesoris tersebut terdiri dari jubah merah berbulu seperti kostum raja dalam dongeng-dongeng, sebuah mahkota besar yang terbuat dari emas dengan hiasan aneka batu mulia dan mutiara air tawar Norwegia, sebuah tongkat emas dan sebuah bola bertahtakan salib yang mereka bawa di tangan kanan dan kiri mereka selagi mengucap sumpah. Bola tersebut merupakan simbol planet bumi dan kekuasaan monarki sedangkan tongkat melambangkan otoritas raja yang sifatnya sementara saja. Ada pula sebuah tanduk kecil dari emas yang berisi minyak urapan. Tradisi minyak urapan berasal dari Timur Tengah dan melambangkan raja sebagai wakil pilihan Tuhan di dunia. Keindahan dan nilai historisnya membuat saya ingin mengabadikan benda-benda itu dalam foto, yang tentu saja tidak jadi karena lagi-lagi saya melihat bapak-bapak lain berpakaian resmi seperti pengawal itu mondar-mandir di ruangan tempat saya berada. Rasanya seperti diawasi ketat, Pembaca hahaha… 😀

riksregalier1

Jubah kebesaran raja yang dikenakan pada upacara penobatan. Sumber: http://www.trondheim.no

Karena merasa tidak nyaman, saya menyarungkan kembali kamera saya. Saya jadi penasaran, jangan-jangan koleksi ini asli dan bukan replika. Kemudian, bapak-bapak yang dari tadi mondar-mandir di ruangan ini bukanlah petugas museum atau pemandu (karena mereka tidak pakai jubah merah seperti seragam petugas museum lainnya), melainkan betul-betul penjaga barang-barang berharga tersebut. Dan benar saja dugaan saya, Pembaca! Chris tiba-tiba datang mendekati saya dan bilang bahwa semua benda di ruangan itu asli dan bukan replika. Ia baru saja bertanya langsung pada salah satu dari bapak-bapak itu. Katanya, jika ada acara resmi kerajaan yang menggunakan pakaian atau aksesoris tersebut, benda-benda koleksi museum itu akan dikeluarkan dan diambil dari kotak kacanya. Wow, saya nyaris tidak percaya. Semua benda tersebut asli dan diletakkan di bangunan yang menurut saya tampak tidak tahan maling. Kalau di negara saya pasti sudah ada usaha perampokan dari kapan tau.

Setelah berkeliling di ruangan tersebut dan melihat semua koleksi, saya beranjak pergi menuju ruang pembatas lorong dan tangga. Chris tidak terlihat, sepertinya ada di belakang saya. Saya sempat melihat ada mesin pengunci dengan kode yang melekat di samping pintu pembatas ruangan koleksi tersebut dengan tangga. Kemudian, Chris datang menyusul saya sambil menunjukkan hasil jepretan terbaru kameranya. Foto-foto hasil mengabadikan koleksi museum yang baru kami lihat ada di sana. Bisa-bisanya anak ini diam-diam mengambil foto. Katanya sih, petugasnya mengamati dia tetapi diam saja. Saya pun menyesal tidak mengambil foto satu pun di sana. 😦

Tujuan kami selanjutnya adalah museum terakhir di area tersebut yang dapat diakses dengan tiket terusan, yaitu Erkebispegården atau Museum Istana Uskup. Seperti namanya, museum ini mengambil sebagian besar bekas bangunan yang dulunya merupakan istana uskup, tepatnya pada bagian sayap selatan dan timur. Kami melintasi pelataran dalam bekas istana tersebut, yang kini sudah berupa lapangan kering tanpa apa-apa. Seluruh bangunan istana uskup tersebut sebetulnya masih tampak seperti aslinya, bercat merah dan terbuat dari kayu dengan penampakan seperti mansion dari abad pertengahan.

erkebispegarden-archbishop1

Kompleks istana uskup – halaman dalam. Sumber: http://www.tripadvisor.com.

 

 

Museum Istana Uskup ini sebetulnya merupakan museum arkeologi. Dari luar tampak kecil, padahal museum ini memiliki tiga lantai dan banyak sekali koleksi. Koleksi-koleksi tersebut berupa rekam sejarah pembangunan Nidarosdomen dan benda-benda temuan dari penggalian arkeologis di bawah katedral tersebut serta kompleks istana uskup. Mungkin suatu hari nanti koleksi itu akan bertambah dengan temuan-temuan dari proyek galian yang saya lihat di dekat alun-alun tadi.

Begitu saya memasuki pintu museum, saya langsung disambut dengan patung batu yang dipajang bersama dengan papan informasi berisi ajakan untuk mencoba menyentuhnya. Permukaan batu itu sangat hitam, yang langsung meyakinkan saya bahwa batu itu adalah soapstone, yang dipakai untuk membangun Nidarosdomen. Patung batu itu menjadi satu-satunya koleksi dari soapstone yang boleh disentuh pengunjung. Patung-patung lain yang rupanya jauh lebih indah di dalam museum itu dilarang untuk disentuh.

erkebisp1

Deretan patung orang kudus dan lengkung jendela bergaya Gotik di lantai satu. Sumber: http://www.trondheim.no

Lantai satu museum tersebut memajang koleksi patung-patung asli yang ditemukan di Nidarosdomen. Patung-patung berbagai orang kudus dan dekorasi pahatan wajah manusia yang ditemukan pada pilar-pilar Nidarosdomen menghiasi dinding-dinding ruangan di lantai satu. Wajah-wajah manusia tersebut menampilkan aneka ekspresi dan emosi yang berbeda. Tidak diketahui wajah-wajah siapakah yang dijadikan penghias tiang tersebut. Ada pula tiga potongan dari patung gargoyle yang biasanya menjadi saluran air hujan di gereja-gereja berarsitektur Gotik. Di tengah ruangan terdapat kolam air mancur kecil dengan hiasan patung kodok yang juga ditemukan di katedral tersebut. Pada bagian belakang ruangan, saya dapat melihat detil pahatan lengkung jendela yang menjadi ciri khas bangunan bergaya Gotik.

13880185_10157956432130377_989940612195488199_n

Air mancur patung kodok.

 

Selanjutnya, saya menaiki tangga menuju lantai dua. Koleksi di lantai dua lebih berfokus pada sejarah kota Trondheim dan Nidarosdomen itu sendiri. Dekat dengan tangga terdapat jajaran miniatur bangunan gereja dari bentuknya yang paling awal hingga menjadi seperti yang sekarang ini. Setiap miniatur bangunan di masa lampau diletakkan pada fondasi yang bergambar denah ruangan dari bentuk yang paling baru, sehingga kami bisa melihat perbandingan luas antara Nidarosdomen di masa lalu dan masa kini.

13920946_10157956432160377_7979093211412051557_n

Bangunan awal Nidarosdomen (kapel St.Olav) dan denah bangunan Nidarosdomen sekarang.

Setelah melalui deretan miniatur tersebut, saya tiba pada ruangan berbentuk lingkaran terbuka yang dindingnya dipenuhi lukisan. Lukisan yang tampak seperti sketsa pada buku dongeng tersebut menceritakan sejarah Nidarosdomen yang berkembang seiring dengan meluasnya kota Trondheim. Kisah tersebut berawal pada peperangan yang menewaskan St.Olav, pendirian kapel yang menjadi tujuan peziarah, pembangunan gereja yang semakin besar, bencana kebakaran yang dialami berulang kali, hingga renovasi dan restorasi bangunan katedral di zaman modern. Dipamerkan pula lukisan yang menceritakan awal mula kota Trondheim yang berupa pemukiman bangsa Viking di tepi fjord yang semakin meluas di sepanjang Sungai Nidelva hingga menjadi kota abad pertengahan yang maju dan menjadi salah satu yang terbesar di Norwegia. Ada pula lukisan-lukisan suasana sehari-hari di istana uskup, yang ternyata pernah menjadi markas militer juga.

Pada awalnya, saya tidak mengetahui bahwa museum tersebut lebih luas dari yang sudah saya jelajahi. Adanya beberapa pengunjung yang menuruni tangga menuju ke lantai dasar memberi tahu saya, bahwa tangga dari lantai satu ke bawah ternyata dapat diakses. Tepat di bawah tangga terhampar banyak potongan bebatuan yang dipajang begitu saja. Tampaknya bebatuan tersebut adalah bagian-bagian dari bangunan katedral yang belum ditemukan pasangan atau letaknya. Saya tiba-tiba teringat salah satu perkataan pemandu wisata di Nidarosdomen. Ada legenda populer di kota itu mengatakan bahwa jika Nidarosdomen selesai dibangun kembali seperti sediakala, seluruh kota Trondheim akan tenggelam di dalam fjord. Entah legenda itu benar atau tidak, kenyataannya sampai saat ini tim renovasi Nidarosdomen memang menyembunyikan sepotong batu di antara potongan-potongan batu yang berserakan tersebut agar pembangunan katedral itu tidak pernah 100% selesai.

Di seberang tumpukan batu-batu tersebut, tepatnya di sisi timur ruangan terdapat semacam bekas fondasi bangunan berupa susunan batu yang usianya tampak sudah ratusan tahun. Rupanya, tumpukan bebatuan itu adalah fondasi dan dinding asli dari istana uskup tersebut. Di samping fondasi tersebut ada miniatur ruangan berbentuk persegi dari potongan-potongan kayu yang di dalamnya berisi diorama orang-orang sedang bekerja dari abad pertengahan. Tersebar di sekeliling miniatur tersebut dipajang berbagai temuan-temuan arkeologis dari penggalian situs Nidarosdomen dan istana uskup dalam sebuah ruangan luas berdinding batu bata.

archbishops-palace-museum-trondheim_3867407_l

Ruangan berdinding batu bata yang memamerkan koleksi penemuan arkeologis. Wilayah berpagar tersebut adalah lantai dan fondasi asli bangunan istana uskup. Sumber: http://www.mygola.com

Setiap koleksi di ruangan itu seolah mendongengi saya dengan kisah-kisah dan sejarah bangunan tersebut dari abad pertengahan. Pada masa itu, uskup yang berkedudukan di Nidarosdomen tinggal di dalam istana tersebut bersama seperangkat pembantunya, pelayan, pekerja, dan budak-budak. Bahkan uskup diperbolehkan memiliki tentara, khususnya ketika konflik antara pemuka agama dengan para bangsawan semakin menajam. Seperti dikisahkan pada banyak sejarah abad pertengahan, masa itu adalah masa kegelapan ketika kekuatan agama banyak ikut campur dalam dunia politik, yang menjadikan para rohaniwan menjadi ikut gila kekuasaan dan tamak. Runtuhnya kekuasaan uskup Katolik di Nidarosdomen tidak dapat dilepaskan dari konflik-konflik dengan bangsawan tersebut dan menurunnya pamor akibat reformasi gereja yang digaungkan Martin Luther.

Meskipun namanya istana uskup, ia tidak sama dengan biara-biara yang hanya dihuni oleh rohaniwan atau sesama pria. Penemuan arkeologis berupa sisir rambut, cermin, perhiasan, potongan pakaian dan sepatu tua yang masih awet bentuknya menunjukkan bahwa di dalam istana tersebut tinggal juga wanita dan anak-anak. Penggalian arkeologis juga menemukan naskah-naskah religi kuno di kompleks istana uskup tersebut. Beberapa naskah tersebut berbahasa Latin, tetapi masih menggunakan aksara Rune khas bangsa Viking. Di bagian belakang kiri ruangan tersebut ada koleksi koin-koin dan berbagai bentuk alat tukar yang ditemukan juga di kompleks istana uskup. Koin-koin tersebut memiliki cap wajah atau kode nama uskup yang sedang berkuasa, persis seperti koin-koin bercap wajah atau nama raja yang sering kita temui. Hal tersebut menandakan bahwa pada masa itu, istana uskup memiliki pencetak koin sendiri. Dipamerkan pula berbagai alat yang digunakan oleh para pencetak koin tersebut untuk menghasilkan alat tukar yang terbuat dari emas atau perak itu. Pada masa itu, orang tidak menilai harga koin berdasarkan angka yang tertera di sana, melainkan berdasarkan ukuran atau beratnya.

3d67a04d81c834fa51a98ef4802250c8

Diorama pekerja pencetak koin di istana uskup. Sumber: http://www.allevent.in

Sebagai penggemar berat sejarah abad pertengahan, berkeliling di antara koleksi temuan arkeologis di istana uskup serasa dikelilingi oleh harta karun. Harta karun-harta karun ini bercerita pada saya seperti apakah kehidupan di masa lampau itu. Saya membayangkan bangunan tempat saya berdiri itu sebagai sebuah rumah besar dengan halaman luas yang selalu sibuk, khususnya di siang hari. Anak-anak berlarian ke sana kemari. Hewan-hewan ternak mencari makan dan berjalan-jalan di halaman tersebut. Pedagang berbagai benda berlalu lalang dan para pengawal bergantian menjaga gerbang. Di berbagai ruangan yang masih ada hingga sekarang itu, para pelayan uskup hidup dan bekerja menghasilkan bahan-bahan pokok untuk kehidupan. Pembuat roti menggiling gandum dan memanggang roti, para pencetak koin memproduksi keping-keping emas, para wanita menjahit dan mencuci pakaian, dan beraneka kegiatan lainnya. Sang uskup akan sibuk melayani audiensi dan misa di katedral, lalu kembali ke istananya di malam hari untuk berdoa, membaca manuskrip religi dan mengerjakan tugas-tugas administratif. Semuanya terjadi di balik tembok tinggi yang membentengi istana uskup tersebut.

Bagaimana dengan di sisi sebaliknya? Apa yang terjadi di luar dinding istana uskup? Di berbagai rumah-rumah dan bangunan tua yang tersebar di penjuru kota Trondheim abad pertengahan yang semakin meluas? Adakah istana yang lebih besar lagi dari istana sang uskup? Adakah kesibukan para nelayan dan penjual ikan dekat jembatan kota tua dan gerbang kebahagiaan? Adakah festival atau pasar besar di alun-alun kota? Hanya waktu yang akan menjawabnya, seiring dengan terungkapnya harta karun-harta karun lainnya yang tengah digali di alun-alun kota. Kembali saya melintasi proyek penggalian itu ketika hendak kembali ke mobil yang sudah menjemput dan akan membawa saya lebih jauh ke utara. Selamat tinggal, Trondheim, semoga saya kembali ke sana lagi suatu hari nanti. 🙂

mit Liebe,

Frouwelinde

Useful links:

Tentang Riksregaliene

https://www.trondheim.com/norwegian-crown-regalia

http://www.kongehuset.no/seksjon.html?tid=28696&sek=27269

Tentang Erkebispegården

http://www.nidarosdomen.no/en/attractions/erkebispeg%C3%A5rden